Jumat, 28 Desember 2012

HAK UJI MATERI MAHKAMAH KONSTITUSI TERHADAP PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG


HAK UJI MATERI MAHKAMAH KONSTITUSI

TERHADAP PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG

 

BAB I

PENDAHULUAN

 

A.   LATAR BELAKANG

 

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 4     Tahun 2009 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 30        Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menimbulkan polemik terkait dengan hak prerogatif Presiden untuk membentuk peraturan sederajat dengan undang-undang (Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang-disingkat menjadi Perppu) yang mengatur hal ikhwal kegentingan mendesak serta kewenangan Mahkamah Konstitusi melakukan hak uji materi terhadap Perppu. Perppu Nomor 4 Tahun 2009 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (selanjutnya disingkat menjadi Perppu Nomor 4 Tahun 2009), menambahkan 2 (dua) pasal di antara Pasal 33 dan Pasal 34 yang mengatur bahwa dalam hal terjadi kekosongan keanggotaan Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sehingga jumlahnya kurang dari 3 orang, Presiden mengangkat anggota sementara Pimpinan KPK sejumlah yang kosong dengan tugas, wewenang, kewajiban dan hak yang sama dengan pimpinan KPK. Apabila Anggota Pimpinan KPK yang digantikan karena diberhentikan sementara, diaktifkan kembali karena pemberhentian sementara tidak berlanjut menjadi pemberhentian tetap, maka masa jabatan anggota sementara Pimpinan KPK sementara berakhir.

Permohonan uji materi terhadap Perppu tersebut dilakukan karena dianggap memiliki komplikasi hukum, ketidakpastian hukum, kediktatoran konstitusional, dan Presiden telah melakukan penyalahgunaan wewenang. Amar Putusan Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa permohonan para pemohon tidak dapat diterima dengan konklusi berdasarkan pertimbangan hukum dan fakta, para pemohon (Perhimpunan Advokat Indonesia Pengawal (PAIP) Konstitusi) tidak memiliki kedudukan hukum (legal standing) untuk mengajukan permohonan a quo sebab tidak terdapat hubungan sebab akibat antara dalil dengan berlakunya Perppu Nomor 4 Tahun 2009 sehingga pokok permohonan tidak dipertimbangkan. Adapun keberatan yang diajukan menyatakan bahwa Perppu tersebut tidak sesuai dengan kepastian hukum dan kaidah pembentukan peraturan perundang-undangan serta bertentangan dengan ketentuan Pasal 28C UUD 1945.

Mahfud MD mengemukakan 2 (dua) hal penting yang menjadi alasan hukum dalam putusan terhadap uji materi Perppu Nomor 4 Tahun 2009 bahwa:

1.        ada perkembangan penting ketatanegaraan kita sehingga saya ikut menyetujui agar Perppu dapat diuji konstitusionalitasnya oleh MK terutama melalui titik tekan pada penafsiran konstitusi. Dalam kaitan ini, saya melihat perlunya penafsiran atas isi UUDNRI Tahun 1945 tidak hanya bertumpu pada original intent, tafsir historik, dan tafsir gramatikal melainkan harus menekankan pada penafsiran sosiologis;

2.        persetujuan uji materi terhadap Perppu dikarenakan adanya penekanan tafsir sosiologis dan teleologis berdasarkan prinsip dalam menjaga tegaknya konstitusi.

 

Namun demikian kewenangan Mahkamah Konstitusi menguji Perppu patut dipertanyakan, mengingat Perppu hanya boleh diuji melalui political review di DPR bukan judicial review oleh Mahkamah Konstitusi, sebagaimana ditentukan dalam Pasal 24C UUD 1945.

          Polemik lain yang muncul adalah mengenai persetujuan yang diberikan Dewan Perwakilan Rakyat pada masa sidang berikutnya atas disahkan Perppu. “Perppu memang dibahas oleh DPR pada masa sidang berikutnya. Bisa diterima atau ditolak. Meskipun demikian, tidak dijelaskan masa sidang mana. Padahal, penerbitan Perppu yang menyebabkan terjadinya kerugian konstitusional warga negara sejak Perppu itu diterbitkan sangat memungkinkan. Maka tugas Mahkamah Konstitusi melindungi hak konstitusional warga.” [1]

 

Pembatasan jangka waktu berlakunya Perppu dan perolehan persetujuan DPR dalam masa sidang, mengandung makna, yakni:

(1)   kewenangan membuat Perppu memberikan kekuasaan luar biasa kepada Presiden. Kekuasaan luar biasa ini harus dikendalikan untuk menghindari penyalahgunaan kekuasaan dengan mempergunakan Perppu sebagai sarana;

(2)   telah dikemukakan, materi muatan Perppu merupakan materi muatan UU. Karena itu, harus diajukan kepada DPR agar mendapatkan persetujuan untuk menjadi UU;

(3)   Perppu mencerminkan suatu keadaan darurat. Keadaan darurat merupakan pembenaran untuk misalnya menyimpangi prinsip-prinsip negara berdasarkan atas hukum atau prinsip negara berkonstitusi. Pengajuan Perppu secepat mungkin kepada DPR berarti secepat mungkin pula pengembalian pada keadaan normal yang menjamin pelaksanaan prinsip-prinsip negara berdasar atas hukum atau negara berkonstitusi.[2]

 

 

Merunut polemik yang tercipta, maka mengenai uji materi suatu Perppu, khususnya tentang uji materi Perppu Nomor 4 Tahun 2009 perlu ditinjau dari beberapa aspek antara lain dari sudut pandang ilmu perundang-undangan dan dari sudut pandang kelembagaan, Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga yang bertanggung jawab mengawal dan melindungi konstitusi sebagai hukum tertinggi.

 

 

B.   Rumusan Masalah

 

          Berdasarkan uraian di atas, maka permasalahan yang menarik untuk dibahas adalah adalah, bagaimanakah kewenangan yang dimiliki Mahkamah Konstitusi untuk melakukan uji materi Perppu dalam konsep penegakan konstitusi (UUD 1945)?

 

C.   Tujuan Penelitian

 

          Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam melakukan uji materi Perppu sebagai produk hukum prakarsa eksekutif berkaitan dengan penegakan hukum konstitusi.

 

D. Metode Penelitian

         

Jenis penelitian ini adalah penelitian yuridis normatif dengan bentuk penelitian preskriptif, yaitu penelitian yang menghasilkan saran yang menjadi solusi dari permasalahan yang dihadapi. Jenis data yang digunakan adalah data sekunder yang terdiri dari bahan hukum primer, dan bahan hukum tersier. Teknik pengumpulan data adalah dengan studi pustaka yang memanfaatkan informasi dari buku literatur, peraturan perundang-undangan serta pengumpulan data melalui media elektronik.



BAB II

PEMBAHASAN

 

A.     Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang dalam Hierarki Peraturan Perundang-undangan

 

Perppu adalah suatu peraturan yang dibentuk oleh Presiden dalam hal ikhwal kegentingan yang memaksa, dalam arti pembentukannya memerlukan alasan-alasan tertentu, yaitu adanya keadaan mendesak, memaksa atau darurat yang dapat dirumuskan sebagai keadaan yang sukar atau sulit dan tidak tersangka-sangka yang memerlukan penanggulangan yang segera.[3]

 

 

Sejarah mencatat terdapat beberapa perubahan susunan hierarki peraturan perundang-undangan yang pernah berlaku dari masa Orde Lama sampai dengan sekarang. Menurut TAP MPRS No XX/MPRS/1966, hierarki peraturan perundang-undangan terdiri dari:

1.   UUD 1945;

2.   KetetapanMPR/MPRS;

3.   UU/Perppu;

4.   PeraturanPemerintah;

5.   KeputusanPresiden;

6.   Peraturan Pelaksana Lainnya: Peraturan Menteri, Instruksi Menteri, dan lain-lainnya

 

Pada masa reformasi susunan hierarki peraturan perundanga-undangan diubah berdasarkan TAP MPR No III/MPR/2000, yang terdiri atas:

1.   UUD 1945;

2.   KetetapanMPR;

3.   Undang-Undang;

4.   Perppu;

5.   Peraturan Pemerintah;

6.   Keputusan Presiden; dan

7.   Peraturan Daerah.

 

Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan mengatur hierarki peraturan perundangan sebagai berikut:

1.   Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun1945;

2.   Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;

3.   Peraturan Pemerintah;

4.   Peraturan Presiden;

5.   Peraturan Daerah.

 

Dan pada saat ini dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 12       Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan menempatkan Perppu sejajar dengan undang-undang, sebagaimana diatur dalam Pasal 7 ayat (1) Jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan terdiri atas:

1.    Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

2.    TAP MPR;

3.    Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;

4.    Peraturan Pemerintah;

5.    Peraturan Presiden;

6.    Peraturan Daerah Provinsi;

7.    Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.

 

Perubahan-perubahan tersebut mengindikasikan adanya perdebatan mengenai kedudukan Perppu dalam hierarki peraturan perundang-undangan. Maria Farida Indrati Soeprapto mengemukakan, “Karena Perppu ini merupakan Peraturan Pemerintah yang menggantikan kedudukan undang-undang, materi-muatannya adalah sama dengan materi-muatan dari undang-undang.”[4] Hal yang sama dikemukakan oleh Bagir Manan, bahwa yang dimaksud dengan pengganti undang-undang adalah bahwa materi muatan Perppu merupakan materi muatan undang-undang. Dalam keadaan biasa (normal) materi muatan tersebut harus diatur dalam undang-undang. Pasal 11 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 mengatur bahwa Materi Muatan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang sama dengan materi muatan Undang-Undang.

Perdebatan eksistensi Perppu dalam hierarki peraturan perundang-undangan dari masa ke masa bukan tanpa sebab. Perihal pengaturan undang-undang darurat selalu tercantum dalam sejarah konstitusi Indonesia, yakni Konsitusi Republik Indonesia Serikat 1949 Pasal 139 ayat (1)-dengan sebutan yang berbeda, serta dalam Pasal 96 UUDS 1950, Pasal 139 ayat (1) Konstitusi RIS 1949 menyatakan, Pemerintah berhak atas kuasa dan tanggung jawab sendiri menetapkan undang-undang darurat untuk mengatur hal-hal penyelenggaraan pemerintahan federal yang karena keadaan-keadaan yang mendesak perlu diatur dengan segera.

UUD Sementara Tahun 1950, Pasal 96 ayat (1) menegaskan, ”Pemerintah berhak atas kuasa dan tanggung jawab sendiri menetapkan undang-undang darurat untuk mengatur hal-hal penyelenggaraan pemerintahan yang karena keadaan-keadaan yang mendesak perlu diatur dengan segera”. Ayat (2) mengatakan bahwa, undang-undang darurat mempunyai kekuasaan dan derajat undang-undang, ketentuan ini tidak mengurangi yang ditetapkan dalam pasal yang berikut. Kedua ayat dari pasal tersebut nampak bahwa untuk menyebut peraturan sebagaimana yang dimaksud dengan Perppu menurut UUD 1945 dipergunakan “Undang-Undang Darurat”.

Nomenklatur “Undang-undang Darurat” lazim dibiaskan dengan yang dimaksud dengan Undang-undang tentang Keadaan darurat/Bahaya. Undang-undang darurat atau Perppu adalah dimaksudkan menyebut suatu peraturan sederajat undang-undang sebagai gantinya undang-undang yang dibuat dalam hal ikhwal yang perlu segera diatur, sehingga tidak perlu menunggu persetujuan DPR dulu. Undang-undang tentang keadaan darurat adalah suatu undang-undang yang mengatur manakala ada keadaan bahaya, baik mengatur tentang syarat-syaratnya kapan boleh dinyatakan ada keadaan bahaya maupun akibat-akibat hukumnya setelah dinyatakan adanya keadaan bahaya itu. Dengan demikian Perppu dimaknai tidak hanya sebagai peraturan yang dibentuk dalam keadaan darurat saja tetapi juga kedudukannya sebagai peraturan darurat yang perlu dibentuk guna memenuhi kebutuhan yang mendesak.

Berikut adalah beberapa pembatasan yang dimilliki Perppu sebagai peraturan darurat.

1.    Perppu dibentuk dalam hal ikhwal kegentingan yang memaksa. Dalam praktik hal ikhwal kegentingan yang memaksa sering diartikan secara luas. Tidak hanya terbatas pada keadaan yang mengandung suatu kegentingan atau ancaman, tetapi termasuk juga kebutuhan yang dipandang mendesak. Siapakah yang menentukan kegentingan yang memaksa itu? Karena kewenangan menetapkan Perppu ada pada Presiden, Presidenlah yang secara hukum menentukan kegentingan yang memaksa.

2.    Perppu hanya berlaku untuk jangka waktu yang terbatas. Presiden –paling lambat dalam masa sidang DPR berikutnya- harus mengajukan Perppu ke DPR untuk memperoleh persetujuan. Apabila disetujui DPR, Perppu berubah menjadi undang-undang. Bila ditolak maka Perppu harus dicabut.

 

Lebih lanjut Jimly Asshidiqie berpendapat bahwa,

 “Tidak setiap kali Presiden menetapkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang berarti negara berada dalam keadaan bahaya. Keadaan bahaya dapat dianggap sama dengan hal ikhwal yang membahayakan, atau sebaliknya, hal ikhwal yang membahayakan juga merupakan keadaan yang membahayakan, sedangkan hal ikhwal keadaan yang memaksa itu tidak selalu membahayakan. Segala sesuatu yang “membahayakan” tentu selalu bersifat “kegentingan yang memaksa,” tetapi segala hal ikhwal kegentingan yang memaksa tidak selalu membahayakan. Oleh karena itu, dalam keadaan bahaya menurut Pasal 12, Presiden dapat menetapkan Perppu kapan saja diperlukan, tetapi, penetapan Perppu oleh Presiden tidak selalu harus berarti ada keadaan bahaya lebih dulu. Artinya, dalam kondisi negara dalam keadaan normal pun, apabila memang memenuhi syarat, Presiden dapat saja menetapkan suatu Perppu.” [5]

 

Secara historis suatu Perppu sebagai undang-undang darurat dibentuk apabila hal ikhwal yang perlu segera diatur, sehingga tidak perlu menunggu persetujuan DPR dulu. Undang-undang tentang keadaan darurat adalah suatu undang-undang yang mengatur manakala ada keadaan bahaya, baik mengatur tentang syarat-syaratnya kapan boleh dinyatakan ada keadaan bahaya maupun akibat-akibat hukumnya. Hal tersebut nampak dari Tahun 1966-2000 hanya 6 (enam) Perppu yang disahkan. Barulah pada Tahun 2000-2009  sebanyak 21 (dua puluh satu)  Perppu disahkan (www.setneg.go.id).

Berkaitan dengan jangka waktu yang terbatas terjadi perdebatan lain, Perppu itu harus mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat dalam persidangan yang berikut. Apakah masa sidang tersebut persis adalah masa sidang DPR setelah Perppu diterbitkan? Atau, pengesahan dapat dilakukan dalam masa sidang kapan saja setelah Perppu diterbitkan.

Adapun Pasal 22 ayat (1) UUD 1945 mengatur, “Dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti undangundang.” Rumusan pasal tersebut jelas bahwa peraturan pemerintah yang dimaksud pada pasal ini adalah sebagai pengganti undang-undang, yang artinya seharusnya materi tersebut diatur dalam wadah undang-undang tetapi karena kegentingan yang memaksa, UUD 1945 memberikan hak kepada Presiden untuk menetapkan Perppu dan tidak memberikan hak kepada DPR untuk membuat peraturan sebagai pengganti undang-undang. Apabila pembuatan peraturan diserahkan kepada DPR maka proses di DPR memerlukan waktu yang cukup lama karena DPR sebagai lembaga perwakilan, mekanisme pengambilan putusannya ada di tangan anggota, yang artinya untuk memutuskan sesuatu hal harus melalui rapat-rapat sehingga memungkin anomali hukum berlangsung lebih lama serta kebutuhan hukum tidak masyarakat terpenuhi.

 

B.        Kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam Uji Materi Perppu

 

Pasal 24 C ayat (1), ialah menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD, memutus pembubaran partai politik dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum. Kewenangan tersebut adalah dalam tingkat pertama dan terakhir dan putusan MK bersifat final, yaitu langsung mempunyai kekuatan hukum tetap dan tidak terdapat upaya hukum untuk mengubahnya.

 

Jimly Ashidiqie berpendapat bahwa,

“Mahkamah Konstitusi merupakan lembaga yang didirikan atau dibentuk untuk meyandang peran sebagai Pengawal (the Guardian) dan Pelindung (the Protector) Konstitusi sebagai hukum yang tertinggi dalam negara yang menganut paham demokrasi konstitsional (constituional democracy). Dalam kedudukannya yang demikian itu maka tak dapat dihidarkan bhawa Mahkamah Konstitusi memainkan peranan yang penting dan bahkan secara hukum memiliki superioritas legal tertentu dalam hubungannya dengan lembaga-lembaga dari cabang kekuasaan lain, seperti legislatif dan eksekutif.”[6]

 

Afirmasi kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam menguji Perppu mengindikasi bahwa Mahkamah Konsitusi memperlakukan UUD 1945 sebagai dokumen yang hidup dan sebagai living constitution, yang menafsirkan UUDN RI 1945 sesuai dengan keadaan terkini.

Berkaitan dengan pemberlakuan Perppu Nomor 4 Tahun 2009, mengenai masa sidang DPR berikutnya dan makna persetujuan DPR merujuk makna bahwa harus melalui proses di DPR. Bila disetujui akan menjadi undang-undang dan bila tidak disetujui maka Perppu akan kehilangan kekuatan berlaku.

Dalam kenyataannya, Perpu yang dimohonkan pengujian dalam perkara ini baru dibahas oleh DPR setelah melampaui masa sidang pertama sejak Perpu ini dikeluarkan. Perpu No. 4 Tahun 2009 diundangkan pada 22 September 2009, sedangkan masa sidang DPR berikutnya (DPR baru, hasil Pemilu 2009) adalah 1 Oktober sampai dengan 4 Desember 2009, tetapi Perpu itu tidak dibahas pada masa sidang tersebut. Jika Perpu tidak dapat diuji oleh MK maka sangat mungkin suatu saat ada Perpu yang dikeluarkan tetapi DPR tidak membahasnya dengan cepat dan mengulur-ulur waktu dengan berbagai alasan, padahal Perpu tersebut mengandung hal-hal yang bertentangan dengan konstitusi.[7]

 

Berdasarkan Penjelasan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi yang menjelaskan bahwa,

Kewenangan konstitusional Mahkamah Konstitusi melaksanakan prinsip checks and balances yang menempatkan semua lembaga negara dalam kedudukan setara sehingga terdapat keseimbangan dalam penyelenggaraan negara. Keberadaan Mahkamah Konstitusi merupakan langkah nyata untuk dapat saling mengoreksi kinerja antar lembaga negara.

 

Kinerja DPR yang cenderung lambat dan tidak responsif bila tidak segera ditindaklanjuti akan menimbulkan konflik hukum yang meluas dengan demikian Mahkamah Konstitusi sebagai penegak constitutional supremacy yang berperan melaksanakan prinsip check and balances bertanggung jawab mengatasi anomali hukum dengan menggunakan kewenangan sebagaimana diperintahkan undang-undang.

          Melalui penafsiran I, meskipun secara prosedural Perppu bukan peraturan perundang-undangan yang materinya dapat diuji oleh Mahkamah Konstitusi (Pasal 24C UUDN RI 1945), sebab Perpu adalah produk hukum Presiden walau materinya materi undang-undang, karena kegentingan yang memaksa, konstitusi memberikan hak pembentukan Perppu kepada Presiden bukan kepada DPR. Kebutuhan akan Perppu merupakan kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan undang-undang, namun tidak dimungkinkan melalui mekanisme penyusunan undang-undang lazimnya, apalai kinerja DPR yang cenderung lambat dan mengulur waktu, karena dibutuhkan kepastian hukum sesegera mungkin.

          Dengan demikian menjadi sangat beralasan bila demi tegaknya konstitusi, Perppu dapat diuji konstitusionalitasnya oleh Mahkamah Konstitusi, guna mendapatkan kepastian pemberlakuan suatu Perppu.

 
 

BAB III

PENUTUP

­­

A.   Simpulan

 

Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 tidak mengatur secara jelas dan gamblang mengenai parameter dan persyaratan dalam pembentukan Perppu dan dinamika yang timbul setelah pemberlakuan atau pencabutan Perppu sehingga seringkali menimbulkan anomali hukum dan menciptakan kediktatoran konstitusional. Mahkamah Konstitusi sebagai Penjaga dan Pelindung Konstitusi berperan mengatasi kekosongan hukum tersebut dengan berlandaskan Pasal 24C Undang-Undang Dasar Negara Tahun 1945 dan  melakukan penemuan hukum melalui pedekatan sosiologis dan penafsiran gramatikal berwenang menguji Perppu. Lebih lanjut, alasan pembenar bagi Mahkamah Konstitusi terhadap uji materi terhadap Perppu dalam hal DPRD yang tidak responsif adalah Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.

 

B.   Saran

 

Pemerintah bersama DPR merumuskan rancangan undang-undang mengenai pengesahan perppu menjadi undang-undang yang sekaligus mengatur materi pencabutan dan hal ikhwal kegentingan yang dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Indonesia Tahun 1945. Selain itu Pemerintah menetapkan peraturan pemerintah yang mengatur muatan materi tentang mekanisme atau acuan teknis pelaksanaan undang-undang tersebut.

 

 
                                                          


[1]    Pendapat Ketua Mahkamah Konstitusi
Pada http://www.antara.co.id/berita/1265672941/mahfud-mk-dapat-uji-konstitusionalitas-Perppu.)
 
[2]    Gde Pantja Astawa dan Suprin Na’a, Dinamika Hukum Dinamika Hukum dan Ilmu Perundang-undangan di Indonesia, Cetakan ke 1, PT. Alumni Bandung, 2008,hlm. 101-102
 
[3]  Riri Nazriyah Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, Kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam Menguji Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang hlm 378.
[4]    Maria Farida Indrati Soeprapto, Ilmu Perundang-undangan, Dasar-Dasar dan Pembentukannya, Kanisius, Yogyakarta, 1998, hlm. 131.
 
[5]       Jimly Ashidiqie, Hukum Tata Negara hlm 206)
[6]       Jimly Asshidiqie, Model-model Pengujian Konstitusional di Berbagai Negara, Sinar Grafika 2010, Jakarta, hlm 43)
[7]  www.antara.co.id

Senin, 24 Desember 2012

Peran Perancang Peraturan Perundang-undangan dalam Pembaharuan Sistem Hukum Indonesia

Posting tugas kuliah kayaknya boring banget deh, cuma yah sapa tau berguna buat yg lagi butek ngerjain paper. jauh dari kata memuaskan karena paper ini dibuat cuma hitungan jam dari jam 2 pagi sampe subuh terus jam 7 paginya dicetak terus dikumpulin sekitar 3 bulan lalu. Beruntungnya sumber sudah ada yang bantu cari sedikit2 sebelum mulai menyusun. Derita kuliah hari sabtu, selesai ngerjain paper ketiduran dan mesti buru2 deh tiap pagi ritual ngebut di jalan tol. Terus siangnya ujian.
Matakuliah ini dibimbing oleh  Prof. DR.  Sunaryati Hartono, beliau sekarang masih menjabat Ketua Ombudsman dan waktu sebelum pensiun sempat menjadi Ketua BPHN periodenya saya tidak yakin dengan tepat. Perintahnya adalah tentang pembaharuan hukum dari sudut pandang profesi hukum yang dipangku oleh peserta kuliah. Kebetulan kolega saya di program magister ini ada beberapa yang advokat, hakim, polisi dan pegawai yang membawahi fungsi hukum. Secara singkat, saya pikir perancang peraturan perundang-undangan adalah profesi hukum yang paling dekat aksesnya dengan penegakan hukum itu sendiri sebab profesi ini bertugas memformulasikan norma  norma yang menjadi  kriteria dan standar terwujudnya suatu keseimbangan dalam kehidupan masyarakat berdasarkan asas asas hukum tentunya. Well, semoga bermanfaat ya, terserah deh mau dikritik atau ditanggapi atau dilengkapi. Salam hangat dan semoga sukses.
 


PERAN PERANCANG PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DALAM PEMBAHARUAN SISTEM HUKUM INDONESIA

BAB I

PENDAHULUAN

A.      Kondisi Hukum di Indonesia

 

Menjamurnya konflik agraria, inefesiensi birokrasi dan korupsi serta kasus mafia peradilan (Gayus dan Artalita) menjadi cerminan nyata bagaimana kondisi hukum di Indonesia. Belum lagi konflik sosial dan ekonomi terkait penerbitan suatu izin oleh pemerintah, misal izin usaha pertambangan di Bima  yang menyulut emosi warga dan mengakibatkan tindakan anarkis. Mengutip pendapat Tony Adams, the court are extremely clogged up and are generally unresponsive to needs of public. Peradilan di Indonesia yang tidak responsif seringkali disinyalir berkat tidak independennya lembaga peradilan Indonesia.[1] Padahal independennya lembaga peradilan amat penting untuk mencapai sistem keadilan, perdamaian, pemeliharaan kehormatan individu dan tertib sosial serta perlindungan hukum yang setara.Kondisi hukum Indonesia yang demikian itu merujuk kepada Dato Param Cumaraswamy disebut sebagai “kebusukan hukum”.  Kondisi hukum Indonesia dalam keadaan kritis dan parah karena tidak saja meliputi institusi semata melainkan sudah merangkak masuk dalam tataran kultur baik internal maupun eksternal. Internal yaitu pada aparat penegak hukum beserta filosofi produk peraturan perundangan. Pada tataran eksternal, yakni masyarakat luas. [2]

            Tekanan dunia internasional pun secara tidak langsung dirasakan ketika globalisasi dan kebijakan perdagangan bebas menghimpit Indonesia untuk tetap mempertahankan kedudukan dalam perekonomian global. Dalam hal ini hukum dan ekonomi berperan sebagai variabel dependent dan independet yang memiliki korelasi yang koheren. Pada paragraf sebelumnya sedikit telah diuraikan perihal kondisi hukum Indonesia, namun perlu juga kiranya menambahkan data-data lain yang jauh lebih lengkap, bahwa 75 (tujuh puluh lima) persen pengelolaan minyak dipegang oleh asing, hal ini merupakan penyimpangan terhadap ketentuan konstitusi Pasal 33 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Demikian pula di bidang perbankan, 50,6 persen berada di bawah kepemilikan asing. Hal yang sama juga terjadi di sektor telekomunikasi serta perkebunan kelapa sawit. Bahkan disinyalir tidak saja pada tataran ekonomi, pada aspek penyusunan peraturan peundang-undangan pun tangan asing terlihat mencampuri. Contoh paling nyara adalah dalam pengelolaan tambang. Kontrak karya terhadap penambang emas di Nusa Tenggara Barat (NTB) misalnya, royalti yang dibayarkan kepada negara ditetapkan atas dasar harga tetap US$ 300 per troy ounce. Padalah harga emas sekarang ini sudah mencapai US$1.500 per troy ounce.[3]

Berkenaan dengan intervensi asing dalam penyusunan perundang-undangan dapat dilihat, menururt anggota DPR Eva Kusuma Sundari, merujuk pada hasil kajian Badan Intelejen Negara (BIN) terdapat sekitar 76 (tujuh puluh enam) undang-undang yang disinyalirn kuat menguntungkan pihak asing dan ada keterlibatan pihak asing dalam penyusunannya. Internasional Monetary Fund (IMF) dan United States Agency for International Development (USAID) ada dibelakang semua itu.[4] Ketiganya terlibat sebagai konsultan, karena memberikan pinjaman kepada pemerintah untuk sejumlah program di bidang politik, ekonomi, pendidikan, kesehatan dan kesejahteraan rakyat. Maka tidak heran jika mereka bisa menyusupkan kepentingan asing dalam penyusunan undang-undang di bidang-bidang tersebut. Dapat dilihat misalnya Undang-Undang BUMN dan Undang-Undang Penanaman Modal Asing. Misalnya lagi Undang Undang Migas No. 22 Tahun 2001. Intinya semua memberikan keuntungan yang sangat besar bagi adanya modal asing masuk ke Indonesia. Modal asing masuk ke Indonesia tentunya, salah satu rupanya adalah dengan berkuasanya Transantional Corporations. Maka tak heran jika 75 (tujuh puluh lima) persen migas Indonesia dikuasai oleh asing.

 

B.  Pembentukan Peraturan Perundang-undangan

 Pemerintah sebagai pihak yang memgajukan prakarsa sesuai dengan fungsi dan tugas pokoknya dalam menjalankan penyelenggaraan negara harus mampu mengidentifikasi dan memfilter, materi muatan apa sajakah yang benar-benar dibutuhkan oleh masyarakat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara serta sebagai bagian dari masyarakat dunia untuk diatur dalam peraturan perundang-undangan dengan memperhatikan landasan pemikiran dan filsafat hukum yang selaras dengan tujuan nasional. Pembentukan peraturan perundang-undangan merupakan bagian dari seluruh proses pembentukan hukum yang baru, karena hukum mencakup proses prosedur, bahkan hukum kebiasaan, perilaku dan sopan santun, dalam menjalankan tugas kenegaraan dan pelayanan publik kepada masyarakat, sesuai dengan asas-asas pemerintahan yang baik.[5] Dalam pembentukan peraturan perundang-undangan pemerintah harus merumuskan kemungkinan-kemungkinan, kesempatan-kesempatan dan kecenderungan yang akan terjadi di masa depan, melihat kesempatan dan menganalisis resiko untuk meminimalisir kendala yang akan dihadapi ketika menegakkan suatu aturan.

Berbicara tentang pembentukan peraturan perundang-undangan, selain bargaining politics maka tidak lepas dari peranan perancang peraturan perundang-undangan dalam proses penyusunan suatu produk peraturan. Sebagaimana telah diulas sebelumnya bahwa banyak undang-undang yang disisipi kepentingan asing yang tentu tidak berpihak pada kepentingan bangsa dan cenderung selalu merugikan, maka sejauh manakah seorang perancang peraturan perundang-undangan berperan dalam menjalankan fungsi dan tugasnya untuk memformulasikan norma hukum dengan berpayung pada satu sistem hukum nasional dengan tetap memperhatikan perkembangan masyarakat dunia.

 

C.    Permasalahan

Berdasarkan uraian pada bagian pendahuluan, maka dapat ditarik suatu permasalahan, “bagaimana peran perancang peraturan perundang-undangan dalam proses penyusunan pearaturan perundang-undangan, khususnya, dan pada pembangunan sistem hukum nasional, umumnya”

 
BAB II
KERANGKA KONSEP

A.          Perancang Peraturan Perundang-undangan

Keputusan Menteri Negara Pendayaagunaan Aparatur Negara Nomor 41/KEP/M.PAN/12/2000 tentang Jabatan Fungsional Perancang Dan Angka Kreditnya menetapkan bahwa, Perancang Peraturan Perundang-Undangan adalah Pegawai Negeri Sipil yang diberi tugas, tanggung jawab, wewenang, dan hak secara penuh oleh pejabat yang berwenang untuk melakukan kegiatan menyusun rancangan peraturan perundang-undangan dan atau instrumen hukum lainnya pada instansi pemerintah.

Dalam setiap tahapan pembentukan peraturan perundang-undangan baik yang dilaksanakan oleh Pemerintah, Dewan Perwakilan Rakyat, maupun Dewan Perwakilan Daerah, diamanatkan untuk melibatkan Perancang Peraturan Perundang-Undangan sebagaimana tertuang dalam Pasal 98 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, bahwa dalam setiap tahapan pembentukan peraturan perundang-undangan mengikutsertakan perancang peraturan perundang-undangan.

 

B.          Sistem Hukum Nasional

Sistem adalah sesuatu yang terdiri dari sejumlah unsur atau komponen yang selalu saling mempengaruhi dan terkait satu sama lain oleh satu atau beberapa asas pengikat [6] yang setiap unsur (pembentuk hukum, aparat penegak hukum, pengadilan, aparat pelayanan hukum, profesi hukum dan masyarakat) merupakan representasi dari bidang hukum yang terpadu membentuk kesatuan secara terencana dan terorganisir yang mengarahkan dan mensinkronkan setiap perbuatan hukum dalam proses pembentukan Hukum Nasional.[7]

Dalam pengertian singkat Sunaryati Hartono menyimpulkan bahwa, Sistem Hukum Nasional sebagai sistem manajemen kehidupan berbangsa dan bernegara, dimana norma-norma merupakan salah satu faktor diantara sekian banyak faktor yang menentukan baik buruknya hasil manajemen atau jerih payah manajer yang akan membawa Indonesia menjadi negara yang aman, sejahtera dan bahagia di abad 21 serta membawa perubahan besar pada abad seterusnya.[8]

 

C.          Pembaharuan Hukum

Pengembangan konsepsionil daripada hukum sebagai sarana pembaharuan masyarakat Indonesia lebih luas jangkauan dan ruang lingkupnya daripada tempat kelahirannya sendiri karena beberapa hal:

1.     Lebih menonjolnya perundang-undangan dalam proses pembaharuan hukum di Indonesia, walaupun yurisprudensi juga ada memegang peranan, berlainan dengan keadaan Amerika Serikat dimana teori Pound ditujukan terutama pada peranan pembaharuan pada keputusan-keputusan pengadilan.

2.     Sikap yang menunjukkan kepekaan terhadap kenyataan masyarakat menolak aplikasi “mechanists” daripada konsepsi “law as a tool of social engineering”. Aplikasi mekanistis yang digambarkan dengan kata tool akan mengakibatkan hasil yang tidak banyak berbeda dari penerapan legisme. Di Indonesia, konsepsi hukum sebagai alat atau sarana pembaharuan dipengaruhi oleh pendekatan filasafat budaya dan pendekatan policy-oriented dari Laswell dan Mc Dougal.

3.     Dalam pengertian hukum termasuk pula hukum internasional maka Indonesia sebenarnya sudah menjalankan asas “hukum sebagai alat pembaharuan” jauh sebelum konsepsi ini dirumuskan resmi sebagai landasan kebijaksanaan hukum. Dengan demikian maka perumusan resmi itu sesungguhnya merupakan perumusan pengalaman masyarakat Indonesia menurut sejarah. Perombakan hukum di bidang pertambangan dan migas, tindakan-tindakan bidang hukum laut, merupakan perwujudan dari aspirasi bangsa Inndonesia yang dituangkan dalam bentuk hukum dan perundang-undangan.[9]

 

 

Uraian di atas dapat disimpulkan bahwa walaupun secara teoritis konsepsi hukum yang melandasi kebijaksanaan hukum dan perundang-undangan (rechts politik) yang juga telah dikenal dalam konsepsi di negara maju, namun hakikatnya konsepsi tersebut lahir dari masyarakat Indonesia sendiri berdasarkan kebutuhan yang mendesak dan dipengaruhi faktor-fakor yang berakar dalam sejarah Indonesia.
 


BAB III

PEMBAHASAN

 

A.          Perancang Peraturan Perundang-undangan sebagai Sarjana Hukum yang Profesional dan Kredibel

 

Tidak dipungkiri bahwa tertinggalnya pemikiran hukum bangsa Indonesia dipengaruhi oleh kecenderungan sarjana hukum Indonesia masa kini yang berpikir secara terkotak-kotak terhadap suatu masalah dan beranggapan penyelesaiannya ditinjau dari satu sudut pandang satu bidang hukum saja. Cara berpikir monolitik seperti ini yang mengakibatkan pemikiran hukum bangsa Indonesia semakin tertinggal. Permasalahan di era globalisasi adalah permasalahan kompleks yang membutuhkan ketajaman analisa dari berbagai aspek ilmu (interdisipliner), sehingga perancang peraturan perundang-undangan sebagai seorang sarjana hukum yang andal harus mengasah wawasan dan pengetahuan untuk meningkatkan kreatifitas dalam menemukan solusi bagi kendala yang dihadapi ketika proses penyusunan peraturan perundang-undangan.

Perkembangan ilmu yang bergerak linier dengan perkembangan masyarakat menuntut perancang peraturan perundang-undangan sebagai seorang sarjana hukum untuk memiliki jalan pemikiran baru yang inovatif dan futuristik/visioner beberapa langkah lebih maju dari sarjana ilmu lain. Namun demikian, inovasi dan pola pikir modern tidak meninggalkan kearifan nilai primordial seorang perancang peraturan sebagai sarjana hukum yang memiliki Wawasan Nusantara[10] dan Wawasan Kebangsaan[11] yang merupakan hal fundamental dalam pembangunan Hukum Nasional.

            Masa depan adalah keberlanjutan saat ini. Masa depan bukanlah sesuatu yang sama sekali baru, namun proses menghilangnya masa kini. Masa depan adalah ekor dari masa kini. Dan ini adalah gelombang. Kita hidup di masa depan pada saat ini. Masa depan adalah proses matinya saat ini.[12] Menyikapi hal tersebut, seorang perancang peraturan sebagai sarjana hukum yang profesional dan kredibel, idealnya menjunjung kejujuran guna menjaga kualitas obyektifitas dalam keterlibatannya ketika penyusunan suatu peraturan yang secara langsung berkontribusi bagi kebaikan dan kemaslahatan orang banyak.

 

B.          Perancang Peraturan Perundang-undangan selaku Birokrat yang Menegakkan Hukum

 

Sebelum membahas lebih dalam, pada bagian kerangka konsep telah didefinisikan bahwa Perancang Peraturan Perundang-Undangan adalah Pegawai Negeri Sipil (selnajutnya disingkat menjadi PNS) yang diberi tugas, tanggung jawab, wewenang, dan hak secara penuh oleh pejabat yang berwenang untuk melakukan kegiatan menyusun rancangan peraturan perundang-undangan dan atau instrumen hukum lainnya pada instansi pemerintah, Berdasarkan definisi bahwa perancang peraturan perundang-undangan adalah seorang PNS, maka perancang peraturan perundang-undangan merupakan birokrat yang berperan selaku penegak hukum sesungguhnya. Adalah hukum bagi seorang perancang peraturan untuk menegakkan asas-asas, dan prinsip-prinsip dalam ilmu hukum ketika proses penyusunan peraturan perundang-undangan. Adalah hukum bagi perancang peraturan perundang-undangan untuk melaksanakan tugas dan kewajibannya sebagaimana diatur dalam Keputusan Menteri Negara Pendayaagunaan Aparatur Negara Nomor 41/KEP/M.PAN/12/2000.

Keputusan Menteri Negara Pendayaagunaan Aparatur Negara  Nomor 41/KEP/M.PAN/12/2000 tentang Jabatan Fungsional Perancang dan Angka Kreditnya menetapkan bahwa Perancang Peraturan Perundang-undangan memiliki tugas pokok menyiapkan, mengolah, dan merumuskan rancangan peraturan perundan-undangan dan instrumen hukum lainnya. Agar dapat menjalankan tugas pokoknya tersebut dengan baik sehingga diperoleh peraturan perundang-undangan yang baik, perancang peraturan perundang-undangan harus memahami dengan baik apa yang menjadi kewajiban dan perannya. Kewajiban yang harus dipenuhi oleh seorang perancang dalam setiap pembentukan peraturan perundangundangan antara lain:

1.     Memahami ketatanegaraan Indonesia, juga negara-negara lain.

2.     Memahami sistem politik negara dan peta politik.

3.     Memahami hukum pada umumnya.

4.     Memahami Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan beserta Lampiran dan Peraturan Pelaksananya.

5.     Memahami dengan cepat mengenai objek garapannya, termasuk bagaimana melakukan harmonisasi dan sinkronisasi untuk menghasilkan konsepsi sesuai dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

6.     Memahami bahasa hukum dan peraturan perundang-undangan.

7.     Memahami asas materi muatan.

8.     Memahami materi muatan.

9.     Memahami penormaan.

10.  Memahami asas pembentukan dan tata urut peraturan perundang-undangan.

 

Selain kewajiban, seorang perancang peraturan perundang-undangan juga dituntut untuk memahami dan melaksanakan perannya dengan baik. Peran Perancang Peraturan Perundang-undangan adalah:

1.       Menentukan pilihan-pilihan yang dikehendaki oleh penentu kebijakan.

2.       Merumuskan substansi secara konsistens atau taat asas.

3.       Merumuskan substansi yang tidak menimbulkan penafsiran (ambigu).

4.       Merumuskan substansi yang adil, sepadan, atau tidak diskriminatif.

5.       Menjamin bahwa peraturan yang dirancang dapat dilaksanakan dengan mudah oleh pelaksana.

6.       Menjamin bahwa peraturan yang dirancang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan di atasnya atau melanggar kepentingan umum.

7.       Menjamin bahwa peraturan yang dirancang dapat memecahkan masalah yang dihadapi oleh penentu kebijakan.

8.       Menjadi penengah dalam penyelesaian tumpang tindih kewenangan dan pengaturan dalam pembahasan di tingkat antar departemen atau antar lembaga.

9.       Melakukan negosiasi atau pendekatan-pendekatan psikologis terhadap penentu kebijakan demi tercapainya tujuan yang diinginkan.[13]

 

Setiap perancang peraturan perundang-undangan harus memiliki pemahaman yang mendalam dan mengimplementasikan kewajiban dan perannya guna peningkatan efesiensi dann konsistensi birokrasi.

 

C.          Peran Strategis Perancang Peraturan Perundang-undangan dalam Pembaharuan Sistem Hukum Nasional

 
Sunaryati Hartono mengemukakan bahwa, penyusunan peraturan peraturan perundang-undangan pada abad 21 merupakan pekerjaan jangka panjang yang jauh berbeda dengan proses dan teknik penyusunan peraturan perundang-undangan di masa lalu, sebab sekarang pembentukannya mengharuskan keterlibatan orang yang mempunyai:

a.            Visi yang tepat tentang sejarah dan bangsa;

b.            Tentang watak dan perilaku bangsa dan;

c.           Tentang kekurangan dan kelebihan bangsa kita dibandingkan bangsa lain.[14]

Mengacu pada point-point tersebut, selain yang telah dijabarkan pada bagian sebelumnya, perancang peraturan perundang-undangan memilik peran yang krusial dan strategis. Pengakuan atas peran tersebut melahirkan beberapa tanggung jawab yang besar. Totalitas dalam melaksanakan tugas diharapkan kepada setiap perancang peraturan mengingat pekerjaannya memiliki dampak yang besar bagi kehidupan masyarakat. Misal, ketidakteltitian dalam merujuk pasal ketika penyusunan, dapat membawa akibat hukum yang merugikan masyarakat, melukai perasaan keadilan dan menimbulkan ketidak pastian hukum dan pada akhirnya dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi atau Mahkamah Agung baik sebagian atau keseluruhan isi Pasal-Pasal peraturan perundang-undangan tersebut.

Perancang peraturan perundang-undangan harus mampu melihat kemungkinan-kemungkinan atau probalitas-probalitias dari kondisi terkini yang memproyeksikan kondisi masa depan (futurologi).[15] Dapat diambil contoh misalnya pada saat penyusunan Undang-Undang Dasar tahun 1945 sesungguhnya perumusannya menjangkau jangka waktu yang begitu panjang untuk membentuk dan pada akhirnya mencapai masyarakat Pancasila berdasarkan UUD 1945, dan bila dicermati sesungguhnya semakin jelas bahwa kaidah-kaidah yang dituangkan ke dalam pasal-pasal UUD 1945 bukanlah hukum positif yang berlaku ada saat itu.[16]

Berbekal Wawasan Nusantara dan Wawasan Kebangsaan, perancang peaturan perundang-undangan harus mampu mensinergikan kearifan lokal di setiap daerah yang menjadi corak dan karakter peraturan daerah tanpa mengabaikan nilai-nilai fundamental dalam sistem Hukum Nasional, serta melakukan perbandingan hukum dengan negara lain untuk menemukan pola dan bentuk tertentu yang cocok diterapkan pada suatu pengaturan. Perancang Peraturan Perundang-undangan harus bisa mempertanggungjawabkan kontribusinya baik secara moral dan keilmuan produk perundang-undangan yang dihasilkan dapat menyelesaikan persoalan-persoalan hukum yang muncul dan dihadapi oleh masyarakat. Dengan berpikir a contra rio, atas apa yang dikemukakan Santos, bahwa ,

“Ketidakmampuan hukum dalam menyelesaikan masalah-masalah itu berkaitan dengan ketidakseimbangan pilar penyangga modernisme. Pilar regulasi mengalami ketidakseimbangan pada prinsip negara dan prinsip pasar dibandingkan dengan prinsip komunitas.[17] Maka produk perundang-undangan yang baik dapat menyelesaikan masalah yang berkaitan dengan modernisme yang menciptakan keseimbangan pilar regulasi dan setara kedudukannya dengan prinsip negara, prinsip pasar (ekonomi) dan prinsip komunitas (sosial-budaya) , tidak ada kekuasaan yang mendominasi dan masyarakat tidak lagi menjadi korban dari kredo modernitas.
 
 
BAB IV

PENUTUP

 

A.          Simpulan

Perancang peraturan perundang-undangan memiliki peran strategis yakni:

1.       Merumuskan substansi secara konsistens atau taat asas.

2.       Merumuskan substansi yang tidak menimbulkan penafsiran (ambigu).

3.       Merumuskan substansi yang adil, sepadan, atau tidak diskriminatif.

4.       Menjamin bahwa peraturan yang dirancang dapat dilaksanakan dengan mudah oleh pelaksana.

5.       Menjamin bahwa peraturan yang dirancang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan di atasnya atau melanggar kepentingan umum.

6.       Menjamin bahwa peraturan yang dirancang dapat memecahkan masalah yang dihadapi oleh penentu kebijakan.

7.       Menjadi penengah dalam penyelesaian tumpang tindih kewenangan dan pengaturan dalam pembahasan di tingkat antar departemen atau antar lembaga.

8.       Melakukan negosiasi atau pendekatan-pendekatan psikologis terhadap penentu kebijakan demi tercapainya tujuan yang diinginkan.

 

Atas peran tersebut melahirkan tanggung jawab yang besar dan mendasarkan kemampuan seorang perancang peraturan yang menguasai futurologi dan menjunjung tinggi nilai primordial serta kearifan lokal yang menjadi akar dari sistem hukum nasional.

Produk perundang-undangan yang baik produk perundang-undangan yang baik dapat menyelesaikan masalah yang berkaitan dengan modernisme yang menciptakan keseimbangan pilar regulasi dan setara kedudukannya dengan prinsip negara, prinsip pasar (ekonomi) dan prinsip komunitas (sosial-budaya), tidak ada kekuasaan yang mendominasi dan masyarakat tidak lagi menjadi korban dari kredo modernitas.

Pembaharuan sistem hukum nasional bergantung pada cara pandang dan pemikiran hukum seorang perancang peraturan perundang-undangan ketika memproyeksikan masa depan.

 



 [1] Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman ditegaskan tentang kebebasan kekuasaan kehakiman

 [2] Memandang Kondisi Dunia Hukum Indonesia dalam Perkembangan Globalisasi hlm 2
[4] Memandang Kondisi Dunia Hukum Indonesia dalam Perkembangan Globalisasi, hlm 3
 [5] Sunaryati Hartono, Pengkajian dan Penelitian Hukum dalam Menunjang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan di Daerah, Bogor, 12-15 Juni 2012, hlm 3.
[6] Sunaryati Hartono, Pembinaan Hukum Nasional dalam Suasana Globalisasi Masyarakat Dunia, Pidato Pengukuhan Guru Besar Tetap dalam Ilmu Hukum Fakultas Hukum, Universitas Padjajaran,  Bandung 1991, hlm 19.
[7] Kutipan tidak langsung, Ibid hlm 28.
[8] Sunaryati Hartono, Kuliah Umum, “Sarjana Hukum masa Depan”, Fakultas Hukum Universitas Krisnadwipayana, 2012 hlm 3
[9] Mochtar Kusumaatmadja, Hukum Masyarakat dan Pembinaan Hukum Nasional, Lembaga Penelitian Hukum dan Kriminologi, Fakultas Hukum Universitas Padjajaran, Bandung, 1976, hlm 9-10.
[10]  Wawasan Nusantara adalah cara pandang dan sikap bangsa Indonesia mengenai diri dan bentuk geografinya berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.[Dalam pelaksanannya, wawasan nusantara mengutamakan kesatuan wilayah dan menghargai kebhinekaan untuk mencapai tujuan nasional.
[11]  Wawasan Kebangsaan adalah adalah visi suatu bangsa (nation) sehubungan dengan keberadaannya di antara bangsa-bangsa lain (=perspektif geopolitik). (Perhatikan juga misalnya bahwa peta dunia yang menggambarkan wilayah negara-negara disebut dengan political map of the world).
[12]  A.G. Dugin, The Ontology of The Future, dalam Vladimir I. Yakunin (ed), Problems of Contemporary World Futurology, Newcastle: Cambridge Scholars Publishing, 2011, hlm: 24 melalui Memandang Kondisi Dunia Hukum Indonesia dalam Perkembangan Globalisasi 2012.
[13] Ditjen Peraturan Perundang-undangan, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, www.depkumham.go.id
[14] Sunaryati Hartono, Pengkajian dan Penelitian Hukum dalam Menunjang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan di Daerah, Temu Konsultasi dengan Kementerian Hukum  dan HAM, Jakarta, 2012, hlm 5
[15] Futurologi atau kajian tentang masa depan adalah kajian yang merumuskan kemungkinan-kemungkinan, kesempatan-kesempatan dan kecenderungan yang akan terjadi di masa depan. Masih terjadi perbedaan pendapat mengenai apakah futurologi ini adalah seni atau ilmu pengetahuan. Secara umum, dapat dikatakan bahwa futurologi berada dibawah kajian sejarah. Futurologi dilihat sebagai usaha atau perangkat untuk memahami apa yang terus berlanjut, apa yang berubah, dan apa yang baru.  Tidak sebagaimana ilmu pengetahuan lain yang bersifat khusu, futurologi lebih melihat sesuatu dalam konteks sistem yang makro. Metodologi yang digunakan bisa dibandingkan atau dilakukan dengan menggunakan metode ilmu-ilmu alam atau bahkan ilmu sosial semacam, soiologi, ekonomi, atau ilmu politik dalam Futurology. Wordnet.princeton.edu
[16] Sunaryati Hartono, Ibid, hlm. 17
[17] Lihat Rizal Muchtasar, Sosiologi Hukum Dalam Dimensi Moralitas di Indonesia dlm adeisme.blog.fisip.uns.ac.id