HAK UJI MATERI MAHKAMAH KONSTITUSI
TERHADAP PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR
BELAKANG
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Perubahan atas
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002
tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menimbulkan polemik terkait
dengan hak prerogatif Presiden untuk membentuk peraturan sederajat dengan
undang-undang (Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang-disingkat menjadi Perppu)
yang mengatur hal ikhwal kegentingan mendesak serta kewenangan Mahkamah
Konstitusi melakukan hak uji materi terhadap Perppu. Perppu Nomor 4 Tahun 2009
tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (selanjutnya disingkat menjadi Perppu Nomor
4 Tahun 2009), menambahkan 2 (dua) pasal di antara Pasal 33 dan Pasal 34 yang
mengatur bahwa dalam hal terjadi kekosongan keanggotaan Pimpinan Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) sehingga jumlahnya kurang dari 3 orang, Presiden
mengangkat anggota sementara Pimpinan KPK sejumlah yang kosong dengan tugas,
wewenang, kewajiban dan hak yang sama dengan pimpinan KPK. Apabila Anggota
Pimpinan KPK yang digantikan karena diberhentikan sementara, diaktifkan kembali
karena pemberhentian sementara tidak berlanjut menjadi pemberhentian tetap,
maka masa jabatan anggota sementara Pimpinan KPK sementara berakhir.
Permohonan uji materi
terhadap Perppu tersebut dilakukan karena dianggap memiliki komplikasi hukum,
ketidakpastian hukum, kediktatoran konstitusional, dan Presiden telah melakukan
penyalahgunaan wewenang. Amar Putusan Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa
permohonan para pemohon tidak dapat diterima dengan konklusi berdasarkan pertimbangan
hukum dan fakta, para pemohon (Perhimpunan Advokat Indonesia Pengawal (PAIP)
Konstitusi) tidak memiliki kedudukan hukum (legal
standing) untuk mengajukan permohonan a
quo sebab tidak terdapat hubungan sebab akibat antara dalil dengan
berlakunya Perppu Nomor 4 Tahun 2009 sehingga pokok permohonan tidak
dipertimbangkan. Adapun keberatan yang diajukan menyatakan bahwa Perppu
tersebut tidak sesuai dengan kepastian hukum dan kaidah pembentukan peraturan
perundang-undangan serta bertentangan dengan ketentuan Pasal 28C UUD 1945.
Mahfud MD mengemukakan 2 (dua) hal penting yang menjadi
alasan hukum dalam putusan terhadap uji materi Perppu Nomor 4 Tahun 2009 bahwa:
1.
ada
perkembangan penting ketatanegaraan kita sehingga saya ikut menyetujui agar Perppu
dapat diuji konstitusionalitasnya oleh MK terutama melalui titik tekan pada
penafsiran konstitusi. Dalam kaitan ini, saya melihat perlunya penafsiran atas
isi UUDNRI Tahun 1945 tidak hanya bertumpu pada original intent, tafsir
historik, dan tafsir gramatikal melainkan harus menekankan pada penafsiran
sosiologis;
2.
persetujuan
uji materi terhadap Perppu dikarenakan adanya penekanan tafsir sosiologis dan
teleologis berdasarkan prinsip dalam menjaga tegaknya konstitusi.
Namun
demikian kewenangan Mahkamah Konstitusi menguji Perppu patut dipertanyakan,
mengingat Perppu hanya boleh diuji melalui political
review di DPR bukan judicial review oleh
Mahkamah Konstitusi, sebagaimana ditentukan dalam Pasal 24C UUD 1945.
Polemik lain yang muncul adalah
mengenai persetujuan yang diberikan Dewan Perwakilan Rakyat pada masa sidang
berikutnya atas disahkan Perppu. “Perppu memang dibahas oleh DPR pada masa
sidang berikutnya. Bisa diterima atau ditolak. Meskipun demikian, tidak
dijelaskan masa sidang mana. Padahal, penerbitan Perppu yang menyebabkan
terjadinya kerugian konstitusional warga negara sejak Perppu itu diterbitkan
sangat memungkinkan. Maka tugas Mahkamah Konstitusi melindungi hak
konstitusional warga.” [1]
Pembatasan jangka waktu berlakunya Perppu dan perolehan persetujuan
DPR dalam masa sidang, mengandung makna, yakni:
(1) kewenangan membuat Perppu memberikan kekuasaan
luar biasa kepada Presiden. Kekuasaan luar biasa ini harus dikendalikan untuk
menghindari penyalahgunaan kekuasaan dengan mempergunakan Perppu sebagai
sarana;
(2) telah dikemukakan, materi muatan Perppu
merupakan materi muatan UU. Karena itu, harus diajukan kepada DPR agar
mendapatkan persetujuan untuk menjadi UU;
(3) Perppu mencerminkan suatu keadaan darurat.
Keadaan darurat merupakan pembenaran untuk misalnya menyimpangi prinsip-prinsip
negara berdasarkan atas hukum atau prinsip negara berkonstitusi. Pengajuan Perppu
secepat mungkin kepada DPR berarti secepat mungkin pula pengembalian pada
keadaan normal yang menjamin pelaksanaan prinsip-prinsip negara berdasar atas
hukum atau negara berkonstitusi.[2]
Merunut polemik yang tercipta, maka mengenai uji materi
suatu Perppu, khususnya tentang uji materi Perppu Nomor 4 Tahun 2009 perlu
ditinjau dari beberapa aspek antara lain dari sudut pandang ilmu
perundang-undangan dan dari sudut pandang kelembagaan, Mahkamah Konstitusi
sebagai lembaga yang bertanggung jawab mengawal dan melindungi konstitusi
sebagai hukum tertinggi.
B. Rumusan
Masalah
Berdasarkan uraian di atas, maka
permasalahan yang menarik untuk dibahas adalah adalah, bagaimanakah kewenangan
yang dimiliki Mahkamah Konstitusi untuk melakukan uji materi Perppu dalam
konsep penegakan konstitusi (UUD 1945)?
C. Tujuan
Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam melakukan uji materi Perppu sebagai
produk hukum prakarsa eksekutif berkaitan dengan penegakan hukum konstitusi.
D.
Metode Penelitian
Jenis penelitian ini adalah penelitian yuridis normatif
dengan bentuk penelitian preskriptif, yaitu penelitian yang menghasilkan saran
yang menjadi solusi dari permasalahan yang dihadapi. Jenis data yang digunakan
adalah data sekunder yang terdiri dari bahan hukum primer, dan bahan hukum
tersier. Teknik pengumpulan data adalah dengan studi pustaka yang memanfaatkan
informasi dari buku literatur, peraturan perundang-undangan serta pengumpulan data
melalui media elektronik.
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang dalam Hierarki Peraturan Perundang-undangan
Perppu adalah suatu peraturan yang dibentuk
oleh Presiden dalam hal ikhwal kegentingan yang memaksa, dalam arti pembentukannya
memerlukan alasan-alasan tertentu, yaitu adanya keadaan mendesak, memaksa atau
darurat yang dapat dirumuskan sebagai keadaan yang sukar atau sulit dan tidak
tersangka-sangka yang memerlukan penanggulangan yang segera.[3]
Sejarah mencatat terdapat beberapa perubahan susunan
hierarki peraturan perundang-undangan yang pernah berlaku dari masa Orde Lama
sampai dengan sekarang. Menurut TAP
MPRS No XX/MPRS/1966, hierarki peraturan perundang-undangan terdiri dari:
1. UUD
1945;
2. KetetapanMPR/MPRS;
3. UU/Perppu;
4. PeraturanPemerintah;
5. KeputusanPresiden;
6. Peraturan Pelaksana Lainnya: Peraturan Menteri, Instruksi Menteri, dan lain-lainnya
Pada masa reformasi susunan
hierarki peraturan perundanga-undangan diubah berdasarkan TAP MPR No
III/MPR/2000, yang terdiri atas:
1. UUD
1945;
2. KetetapanMPR;
3. Undang-Undang;
4. Perppu;
5. Peraturan
Pemerintah;
6. Keputusan
Presiden; dan
7. Peraturan
Daerah.
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan mengatur hierarki peraturan perundangan sebagai
berikut:
1. Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun1945;
2. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang;
3. Peraturan
Pemerintah;
4. Peraturan
Presiden;
5. Peraturan
Daerah.
Dan pada saat ini dengan berlakunya
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan menempatkan Perppu sejajar dengan
undang-undang, sebagaimana diatur dalam Pasal 7 ayat (1) Jenis dan hierarki
peraturan perundang-undangan terdiri atas:
1.
Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2.
TAP
MPR;
3.
Undang-Undang/Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
4.
Peraturan
Pemerintah;
5.
Peraturan
Presiden;
6.
Peraturan
Daerah Provinsi;
7.
Peraturan
Daerah Kabupaten/Kota.
Perubahan-perubahan tersebut mengindikasikan adanya
perdebatan mengenai kedudukan Perppu dalam hierarki peraturan
perundang-undangan. Maria Farida Indrati Soeprapto mengemukakan, “Karena Perppu
ini merupakan Peraturan Pemerintah yang menggantikan kedudukan undang-undang,
materi-muatannya adalah sama dengan materi-muatan dari undang-undang.”[4]
Hal yang sama dikemukakan oleh Bagir Manan, bahwa yang dimaksud dengan
pengganti undang-undang adalah bahwa materi muatan Perppu merupakan materi
muatan undang-undang. Dalam keadaan biasa (normal) materi muatan tersebut harus
diatur dalam undang-undang. Pasal 11 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 mengatur
bahwa Materi Muatan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang sama dengan
materi muatan Undang-Undang.
Perdebatan eksistensi
Perppu dalam hierarki peraturan perundang-undangan dari masa ke masa bukan
tanpa sebab. Perihal pengaturan undang-undang darurat selalu tercantum dalam
sejarah konstitusi Indonesia, yakni Konsitusi Republik Indonesia Serikat 1949 Pasal
139 ayat (1)-dengan sebutan yang berbeda, serta dalam Pasal 96 UUDS 1950, Pasal
139 ayat (1) Konstitusi RIS 1949 menyatakan, Pemerintah berhak atas kuasa dan
tanggung jawab sendiri menetapkan undang-undang darurat untuk mengatur hal-hal
penyelenggaraan pemerintahan federal yang karena keadaan-keadaan yang mendesak
perlu diatur dengan segera.
UUD Sementara Tahun 1950,
Pasal 96 ayat (1) menegaskan, ”Pemerintah berhak atas kuasa dan tanggung jawab
sendiri menetapkan undang-undang darurat untuk mengatur hal-hal penyelenggaraan
pemerintahan yang karena keadaan-keadaan yang mendesak perlu diatur dengan
segera”. Ayat (2) mengatakan bahwa, undang-undang
darurat mempunyai kekuasaan dan derajat undang-undang, ketentuan ini tidak
mengurangi yang ditetapkan dalam pasal yang berikut. Kedua ayat dari pasal
tersebut nampak bahwa untuk menyebut peraturan sebagaimana yang dimaksud dengan
Perppu menurut UUD 1945 dipergunakan “Undang-Undang Darurat”.
Nomenklatur “Undang-undang
Darurat” lazim dibiaskan dengan yang dimaksud dengan Undang-undang tentang
Keadaan darurat/Bahaya. Undang-undang darurat atau Perppu adalah dimaksudkan
menyebut suatu peraturan sederajat undang-undang sebagai gantinya undang-undang
yang dibuat dalam hal ikhwal yang perlu segera diatur, sehingga tidak perlu
menunggu persetujuan DPR dulu. Undang-undang tentang keadaan darurat adalah
suatu undang-undang yang mengatur manakala ada keadaan bahaya, baik mengatur tentang
syarat-syaratnya kapan boleh dinyatakan ada keadaan bahaya maupun akibat-akibat
hukumnya setelah dinyatakan adanya keadaan bahaya itu. Dengan demikian Perppu
dimaknai tidak hanya sebagai peraturan yang dibentuk dalam keadaan darurat saja
tetapi juga kedudukannya sebagai peraturan darurat yang perlu dibentuk guna
memenuhi kebutuhan yang mendesak.
Berikut adalah beberapa
pembatasan yang dimilliki Perppu sebagai peraturan darurat.
1.
Perppu
dibentuk dalam hal ikhwal kegentingan yang memaksa. Dalam praktik hal ikhwal
kegentingan yang memaksa sering diartikan secara luas. Tidak hanya terbatas
pada keadaan yang mengandung suatu kegentingan atau ancaman, tetapi termasuk
juga kebutuhan yang dipandang mendesak. Siapakah yang menentukan kegentingan
yang memaksa itu? Karena kewenangan menetapkan Perppu ada pada Presiden,
Presidenlah yang secara hukum menentukan kegentingan yang memaksa.
2.
Perppu
hanya berlaku untuk jangka waktu yang terbatas. Presiden –paling lambat dalam
masa sidang DPR berikutnya- harus mengajukan Perppu ke DPR untuk memperoleh
persetujuan. Apabila disetujui DPR, Perppu berubah menjadi undang-undang. Bila
ditolak maka Perppu harus dicabut.
Lebih lanjut Jimly Asshidiqie berpendapat bahwa,
“Tidak
setiap kali Presiden menetapkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang
berarti negara berada dalam keadaan bahaya. Keadaan bahaya dapat dianggap sama
dengan hal ikhwal yang membahayakan, atau sebaliknya, hal ikhwal yang
membahayakan juga merupakan keadaan yang membahayakan, sedangkan hal ikhwal
keadaan yang memaksa itu tidak selalu membahayakan. Segala sesuatu yang
“membahayakan” tentu selalu bersifat “kegentingan yang memaksa,” tetapi segala
hal ikhwal kegentingan yang memaksa tidak selalu membahayakan. Oleh karena itu,
dalam keadaan bahaya menurut Pasal 12, Presiden dapat menetapkan Perppu kapan
saja diperlukan, tetapi, penetapan Perppu oleh Presiden tidak selalu harus
berarti ada keadaan bahaya lebih dulu. Artinya, dalam kondisi negara dalam
keadaan normal pun, apabila memang memenuhi syarat, Presiden dapat saja
menetapkan suatu Perppu.” [5]
Secara historis suatu Perppu sebagai undang-undang
darurat dibentuk apabila hal ikhwal yang perlu segera diatur, sehingga tidak
perlu menunggu persetujuan DPR dulu. Undang-undang tentang keadaan darurat
adalah suatu undang-undang yang mengatur manakala ada keadaan bahaya, baik
mengatur tentang syarat-syaratnya kapan boleh dinyatakan ada keadaan bahaya
maupun akibat-akibat hukumnya. Hal tersebut nampak dari Tahun 1966-2000 hanya 6
(enam) Perppu yang disahkan. Barulah pada Tahun 2000-2009 sebanyak 21 (dua puluh satu) Perppu disahkan (www.setneg.go.id).
Berkaitan dengan jangka waktu yang
terbatas terjadi perdebatan lain, Perppu itu harus mendapat persetujuan Dewan Perwakilan
Rakyat dalam persidangan yang berikut. Apakah masa sidang tersebut persis
adalah masa sidang DPR setelah Perppu diterbitkan? Atau, pengesahan dapat
dilakukan dalam masa sidang kapan saja setelah Perppu diterbitkan.
Adapun Pasal 22 ayat (1) UUD 1945 mengatur, “Dalam hal
ihwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah
sebagai pengganti undangundang.” Rumusan pasal tersebut jelas bahwa peraturan
pemerintah yang dimaksud pada pasal ini adalah sebagai pengganti undang-undang,
yang artinya seharusnya materi tersebut diatur dalam wadah undang-undang tetapi
karena kegentingan yang memaksa, UUD 1945 memberikan hak kepada Presiden untuk menetapkan
Perppu dan tidak memberikan hak kepada DPR untuk membuat peraturan sebagai
pengganti undang-undang. Apabila pembuatan peraturan diserahkan kepada DPR maka
proses di DPR memerlukan waktu yang cukup lama karena DPR sebagai lembaga
perwakilan, mekanisme pengambilan putusannya ada di tangan anggota, yang
artinya untuk memutuskan sesuatu hal harus melalui rapat-rapat sehingga
memungkin anomali hukum berlangsung lebih lama serta kebutuhan hukum tidak
masyarakat terpenuhi.
B.
Kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam Uji
Materi Perppu
Pasal 24 C ayat (1), ialah menguji undang-undang
terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang
kewenangannya diberikan oleh UUD, memutus pembubaran partai politik dan memutus
perselisihan tentang hasil pemilihan umum. Kewenangan tersebut adalah dalam
tingkat pertama dan terakhir dan putusan MK bersifat final, yaitu langsung
mempunyai kekuatan hukum tetap dan tidak terdapat upaya hukum untuk
mengubahnya.
Jimly Ashidiqie berpendapat bahwa,
“Mahkamah Konstitusi merupakan lembaga yang
didirikan atau dibentuk untuk meyandang peran sebagai Pengawal (the Guardian) dan Pelindung (the Protector) Konstitusi sebagai hukum
yang tertinggi dalam negara yang menganut paham demokrasi konstitsional (constituional democracy). Dalam
kedudukannya yang demikian itu maka tak dapat dihidarkan bhawa Mahkamah Konstitusi
memainkan peranan yang penting dan bahkan secara hukum memiliki superioritas
legal tertentu dalam hubungannya dengan lembaga-lembaga dari cabang kekuasaan
lain, seperti legislatif dan eksekutif.”[6]
Afirmasi kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam menguji
Perppu mengindikasi bahwa Mahkamah Konsitusi memperlakukan UUD 1945 sebagai
dokumen yang hidup dan sebagai living
constitution, yang menafsirkan UUDN RI 1945 sesuai dengan keadaan terkini.
Berkaitan dengan pemberlakuan Perppu Nomor 4 Tahun 2009,
mengenai masa sidang DPR berikutnya dan makna persetujuan DPR merujuk makna
bahwa harus melalui proses di DPR. Bila disetujui akan menjadi undang-undang
dan bila tidak disetujui maka Perppu akan kehilangan kekuatan berlaku.
Dalam kenyataannya, Perpu yang dimohonkan
pengujian dalam perkara ini baru dibahas oleh DPR setelah melampaui masa sidang
pertama sejak Perpu ini dikeluarkan. Perpu No. 4 Tahun 2009 diundangkan pada 22
September 2009, sedangkan masa sidang DPR berikutnya (DPR baru, hasil Pemilu
2009) adalah 1 Oktober sampai dengan 4 Desember 2009, tetapi Perpu itu tidak
dibahas pada masa sidang tersebut. Jika Perpu tidak dapat diuji oleh MK maka
sangat mungkin suatu saat ada Perpu yang dikeluarkan tetapi DPR tidak
membahasnya dengan cepat dan mengulur-ulur waktu dengan berbagai alasan,
padahal Perpu tersebut mengandung hal-hal yang bertentangan dengan konstitusi.[7]
Berdasarkan
Penjelasan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi yang
menjelaskan bahwa,
Kewenangan konstitusional
Mahkamah Konstitusi melaksanakan prinsip checks and balances yang menempatkan
semua lembaga negara dalam kedudukan setara sehingga terdapat keseimbangan
dalam penyelenggaraan negara. Keberadaan Mahkamah Konstitusi merupakan langkah
nyata untuk dapat saling mengoreksi
kinerja antar lembaga negara.
Kinerja
DPR yang cenderung lambat dan tidak responsif bila tidak segera ditindaklanjuti
akan menimbulkan konflik hukum yang meluas dengan demikian Mahkamah Konstitusi
sebagai penegak constitutional supremacy
yang berperan melaksanakan prinsip check
and balances bertanggung jawab mengatasi anomali hukum dengan menggunakan
kewenangan sebagaimana diperintahkan undang-undang.
Melalui penafsiran I, meskipun secara
prosedural Perppu bukan peraturan perundang-undangan yang materinya dapat diuji
oleh Mahkamah Konstitusi (Pasal 24C UUDN RI 1945), sebab Perpu adalah produk
hukum Presiden walau materinya materi undang-undang, karena kegentingan yang
memaksa, konstitusi memberikan hak pembentukan Perppu kepada Presiden bukan
kepada DPR. Kebutuhan akan Perppu merupakan kebutuhan mendesak untuk
menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan undang-undang, namun tidak
dimungkinkan melalui mekanisme penyusunan undang-undang lazimnya, apalai kinerja
DPR yang cenderung lambat dan mengulur waktu, karena dibutuhkan kepastian hukum
sesegera mungkin.
Dengan demikian menjadi sangat
beralasan bila demi tegaknya konstitusi, Perppu dapat diuji
konstitusionalitasnya oleh Mahkamah Konstitusi, guna mendapatkan kepastian
pemberlakuan suatu Perppu.
BAB
III
PENUTUP
A. Simpulan
Undang-undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 tidak mengatur secara jelas dan gamblang mengenai parameter
dan persyaratan dalam pembentukan Perppu dan dinamika yang timbul setelah
pemberlakuan atau pencabutan Perppu sehingga seringkali menimbulkan anomali
hukum dan menciptakan kediktatoran konstitusional. Mahkamah Konstitusi sebagai
Penjaga dan Pelindung Konstitusi berperan mengatasi kekosongan hukum tersebut
dengan berlandaskan Pasal 24C Undang-Undang Dasar Negara Tahun 1945 dan melakukan penemuan hukum melalui pedekatan
sosiologis dan penafsiran gramatikal berwenang menguji Perppu. Lebih lanjut, alasan pembenar bagi Mahkamah Konstitusi
terhadap uji materi terhadap Perppu dalam hal DPRD yang tidak responsif adalah
Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.
B. Saran
Pemerintah bersama DPR merumuskan rancangan
undang-undang mengenai pengesahan perppu menjadi undang-undang yang sekaligus
mengatur materi pencabutan dan hal ikhwal kegentingan yang dimaksud dalam
Undang-Undang Dasar Negara Indonesia Tahun 1945. Selain itu Pemerintah
menetapkan peraturan pemerintah yang mengatur muatan materi tentang mekanisme
atau acuan teknis pelaksanaan undang-undang tersebut.
Pada http://www.antara.co.id/berita/1265672941/mahfud-mk-dapat-uji-konstitusionalitas-Perppu.)
[2] Gde Pantja Astawa
dan Suprin Na’a, Dinamika Hukum Dinamika Hukum dan Ilmu Perundang-undangan di
Indonesia, Cetakan ke 1, PT. Alumni Bandung, 2008,hlm. 101-102
[3] Riri Nazriyah
Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, Kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam Menguji Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang hlm 378.
[4] Maria Farida Indrati
Soeprapto, Ilmu Perundang-undangan, Dasar-Dasar dan
Pembentukannya, Kanisius, Yogyakarta, 1998, hlm. 131.
[5]
Jimly Ashidiqie, Hukum Tata Negara hlm
206)
[6]
Jimly Asshidiqie, Model-model Pengujian Konstitusional di Berbagai Negara,
Sinar Grafika 2010, Jakarta, hlm 43)