Hola!... ouch been so long not blogging. Sok sibuk sih, tapi ngga pernah pura pura sibuk ya. by the way, topik kali ini adalah resensi film, tepatnya komentar dan komplain, sigh. Oh tidak, masih berasa kecewanya *drama. Hahahahaha
Les Miserables. Ya, Les Miserables yang itu. Saya menunggu film itu diputar dari akhir November, sumprit, itu film di luar ekspektasi deh. Banyak yang komen bagus tentang film itu, dan masuk beberapa kategori nominasi penghargaan Golden Globe. Tapi sejujurnya saya tidak begitu suka dengan versi yang sekarang. Kalau dirunut kesannya antiklimaks, betapa tidak, di awal saya terpesona dengan Jan Valjean yang kurus, tirus, kumuh dan super duper menderita, menyanyikan kidungnya yang pertama tentang upaya keras pembebasan jiwa dari niat jahat dan keburukan nafsu dunia. Oh scene itu indah sekali, kata orang jawa sampe “mbrebes mili” (googling deh sono sampe juling ngga bakal nemu :D) lalu lama kelamaan berakhir pada tembang cengeng yang mengiringi romansa Marius dan Cosette yang sepertinya mendominasi plot film. Okey saya setuju film tentang cinta yang murni selalu menarik bagi pangsa pasar boxoffice, tapi saya pikir dan saya rasa pesannya agak melenceng dari pesan yang telah disampaikan di film garapan pertama. Betul bahwa film ini menceritakan tentang cinta kasih, tapi sepertinya ada beberapa “check point”di film pertama yang tidak ditemukan pada film versi baru (mudahnya saya sebut film kedua ya, meskipun bukan sekuel). Marginalitasnya mungkin tidak sekolosal yang pertama tapi paling tidak, jangan dihilangkan.
Les Miserables. Ya, Les Miserables yang itu. Saya menunggu film itu diputar dari akhir November, sumprit, itu film di luar ekspektasi deh. Banyak yang komen bagus tentang film itu, dan masuk beberapa kategori nominasi penghargaan Golden Globe. Tapi sejujurnya saya tidak begitu suka dengan versi yang sekarang. Kalau dirunut kesannya antiklimaks, betapa tidak, di awal saya terpesona dengan Jan Valjean yang kurus, tirus, kumuh dan super duper menderita, menyanyikan kidungnya yang pertama tentang upaya keras pembebasan jiwa dari niat jahat dan keburukan nafsu dunia. Oh scene itu indah sekali, kata orang jawa sampe “mbrebes mili” (googling deh sono sampe juling ngga bakal nemu :D) lalu lama kelamaan berakhir pada tembang cengeng yang mengiringi romansa Marius dan Cosette yang sepertinya mendominasi plot film. Okey saya setuju film tentang cinta yang murni selalu menarik bagi pangsa pasar boxoffice, tapi saya pikir dan saya rasa pesannya agak melenceng dari pesan yang telah disampaikan di film garapan pertama. Betul bahwa film ini menceritakan tentang cinta kasih, tapi sepertinya ada beberapa “check point”di film pertama yang tidak ditemukan pada film versi baru (mudahnya saya sebut film kedua ya, meskipun bukan sekuel). Marginalitasnya mungkin tidak sekolosal yang pertama tapi paling tidak, jangan dihilangkan.
1.
Adegan Jan Valjean sebagai walikota dan Javert
sebagai inspektur, setting pabrik, ketika menanyakan administrasi
kependudukan Jan Valjean.
Di film pertama, ketegangannya sangat
terasa karena sense thriller itu kan tidak didapat dari kalimat bernada dan
berima. Cukup dengan bahasa tubuh dan kalimat padat berintonasi keras, dan trik
reli panjang percakapan yang diakhiri jawaban cerdas (kesan yang sama juga
ketika Jan Valjean menebus Cosette-dia mampu mengimbangi kelicikan dan culasnya
orangtua angkat Cosette). Di film pertama, im sticked with Liam Neeson ,
suaranya, mimiknya, gerak tubuhnya. D i film kedua, Hugh Jackman boleh juga,
dan Russel Crowe memang enak dilihat ya, meskipun suara mereka bagus, tapi saya
tidak suka dengar mereka nyanyi di adegan ini. Apakah film musikal harus 100%
berirama “line”nya. Saya tidak mengerti dengan si pembuat film, apakah untuk
menghilangkan kesan “maho” dia merasa terbantu dengan aktor laga seperti hugh
jackman dan russel crowe, (oh ya ada scene dimana hugh jackman bernyanyi waktu
dia menjemput cossete dan hendak melarikan diri ke Perancis dalam kereta kuda,
dia berkisah dalam lagu betapa besar arti kehadiran cosette) harafiah lagunya
bagus, tapi motionnya ngga dapet deh, di saat yang sama analogi rasa yang
terjadi adalah muncul bayangan Wolferine memakai spandek kuning menyanyikan
“Somewhere over the rainbow-versi Connie Talbot”. Geli yang menyiksa. Maksud saya adalah,
ketika dipilih Hugh Jackman dan Russel Crowe sebagai centre of plot, apa ya dia
melupakan standar ketika memilih aktor untuk tokoh Marius? Marius itu kan
seorang revolusioner, tapi kenapa yang dapet peran kaya runner up nya program
Glee? Keliatan banget maho-nya. Ih nanggung deh. Sorry Eddy, but Hans Matheson is better,
eventhough you are more handsome than him, your face doesnt shows you are a
rebel.
2.
Check point kedua adalah ketika adegan Fantine
diusilin dan dia tidak punya apa-apa lagi untuk membayar utang (bukan hutang)
atas kehidupan anaknya, di film pertama
kronologisnya jelas kenapa seorang walikota bisa berada satu locus dengan
prostitusi di malam itu dan akhirnya menemukan Fantine dalam keadaan payah,
tapi di film kedua, tiba-tiba Valjean muncul begitu aja dari balik tembok, dan
sendirian, ngapain coba? Kalau di film pertama kan jelas settingannya di bar,
so logis dong walikota walking arround sama sejawatnya, tapi di film kedua
lebiah keliatan sebuah dermaga karena ada kapal terdampar dan layar robek2. Apa
sih? Aduh. Uma Thurman dan Anne Hathway
, beda banget deh warna wajahnya, Menatap Fantine-Uma dan menatap Fantine-Anna
menimbulkan kesan yang berbeda. Fantine-Uma : murni, pejuang, keras kepala
(karakter yang hampir sama dalam Kill Bill tapi ngga pake bengis) Fantine-Anna:
murni, naif, manja, loveable, cute, dan super cute oh no dia terlalu cute utk
tokoh fantine, dan dia ngga keliatan sengsara walaupun dia bernyanyi memilukan sampai
membuat saya menangis ketika pertama kali dan terpaksa menjadi tuna susila. Saya
suka Anna Hathway tapi tidak untuk Fantine. Terminologi judul film kan maksudnya
“orang-orang sengsara” ya tapi sampai dengan tengah alur saja didapat perasaan
kasihan atas kesengsaraan Valjean, setelah itu, flaaat, wajar karena plot
didominasi romansa marius dan cossete. Oya tentang cossette, saya pun tidak terlalu
terkesan dengan Claire Danes di film pertama tapi kenapa kok bisa Amanda
Seyfried yang terpilih di film kedua. Amanda Seyfried di Red Riding Hood cocok,
karena cantik, tapi lagi-lagi ngga keliatan sengsara. Setiap adegan mukanya
seolah-olah minta dicium, (bibirnya engga banget).
3.
Check point ketiga, Jan Valjean mendaki tembok
perbatasan Kota Paris (bukan memanjat karena itu tembok tingginya minta maaf). Di
film pertama detailnya ditunjukkan secara dramatis bagaimana dia bersusah payah
sambil gendong cossette mendaki tembok padahal radius beberapa meter anak buah Javert
memblokade gerbang masuk dan ada patroli pengawas, tegangnya minta ampun.
Sembunyi-sembunyi merendahkan kepala sejajar ilalang, membawa logistik
seperlunya dan ketika hendak meraih tali untuk dakian pertama, cossete kecil berseru, “Papa, dont leave me!”
dia bahkan belum bertemu ibu kandungnya sendiri saat itu dan baru saja terbebas
dari kerja paksa orang tua angkat sang pengelola penginapan yang culas. Dan tebak, di film kedua detail itu ngga ada.
Yang ada cuma Hugh Jackman sudah sampe di atas tembok dan tembak2an sama Javert
lalu menyusup kedalam biara (di film
pertama tidak begitu ceritanya, Javert bahkan tidak tahu kalau Valjean berhasil
meloloskan diri ke dalam biara).
4.
Check point keempat. Adegan yang paling saya
suka dan membuat saya terkesan pada Geoffrey Rush (King Speech, Pirates of
Carribean) sebagai Javert, dia membawakan karakter yang keras, kaku, rigid,
pada adegan yang menurut saya adalah klimaks dari cerita adalah ketika dia
menunggu janji Jan Valjean untuk menyerahkan diri di tepi sungai, di film kedua
tidak dikisahkan mereka berhasil bertemu, namun langsung melagukan bimbang dari sang
Javert yang kemudian berakhir pada
keputusan dia menjatuhkan diri kedalam tanggul dengan visual detail yang horor
saat organ tubuhnya tercerai berai. Sedangkan
di film pertama, di tepi sungai Javert menunggu dan agak lama lalu muncullah Jan
Valjean menyerahkan diri sesuai janjinya ketika dia menukar nyawa marius dengan
kebebasan dirinya kepada Javert pada saat terjadi pertempuran anarkis kaum
revolusi . Saat itu Valjean sudah sangat pasrah untuk berkorban demi
kebahagiaan cossete and marius, tapi Javert mulai merasakan dilema atas
keberanian Jan Valjean menyerahkan diri dan kembali merasakan kesengsaraan
hidup dipenjara. Javert tidak dapat
menguasai diri, dia tidak dapat mengampuni Valjean karena dia tidak berbelas
asih pada dirinya sendiri, begitu kaku pada aturan, dan setiap zat yang terlalu
kaku dan keras akan mudah patah. Dia memutuskan menceburkan diri ke dalam
sungai, membunuh dirinya sendiri karena tidak mampu membunuh dilema. Obsesinya akan
Valjean menyengsarakan dirinya dan dia mengakhiri kesengsaraan itu dengan bunuh
diri. Valjean terkejut, terpaku sesaat dan berjalan berbalik arah merasakan
angin kebebasan dan bahagia bersama cosete, setting pada siang hari. Akhir cerita
yang berbeda pada film kedua, javert menjatuhkan diri kedalam sungai, tidak
bertemu dengan valjean, dan dikisahkan valjean meninggal. Horrible.
Adegan yang membuat saya sangat terkesan pada
film kedua adalah scene Helena dan .... (sapa ya lupa namanya) sebagai pemilik
penginapan yang korup, licik dan culas. Visualisasi yangn riang dan lucu serta
line yang menggelitik perut. Bagi yang
ngga familiar dengan film ini, ada sekilas info di http://en.wikipedia.org/wiki/Les_Mis%C3%A9rables.
Oke that's it. Thank you for viewing. Best Regards. :)
klo udh kena komersialisasi ya gtu..mngkin.pnulis novelnye sedih di alam sana, roh revolusioner dr novelnye di cabut sedemikian rupa oleh nalar hollywood yg kapitalistik
BalasHapus